SAJAK-SAJAK CINTA GOENAWAN MOHAMAD


SAJAK-SAJAK CINTA GOENAWAN MOHAMAD

Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad adalah seorang sastrawan Indonesia yang turut mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Gaya bahasa beliau banyak digunakan oleh penulis-penulis lainnya, dari Angkatan 80-an sampai dengan kini, terutamu penulis angkatan 2000-an.

Goenawan Mohamad merupakan salah seorang pendiri majalah Tempo dan menulis ruplik Catatan Pinggir setiap minggunya. Tentu dengan gaya bahasanya yang khas. Gaya bahasa yang dalam, dan banyak membahas hal-hal kecil yang hampir luput dari pandangan penulis lainnya.

Sajak-sajaknya dibukukan telah lebih dari 50 tahun lamanya. Goenawan Mohamad memang menulis sejak SMA. Diantara sajaknya-sajaknya yang telah dibukukan: Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradna (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan sajak-sajak lengkap yang dikumpulkan dalam satu buku lainnya, maupun diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Berikut saya kutip beberapa sajak cintanya:

KWATRIN TENTANG SEBUAH POCI

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi

1973


DI BERANDA INI ANGIN TAK KEDENGARAN LAGI

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada

1966


ASMARADANA

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa
hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada
yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia
melihat peta,
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak
semuanya
disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok
pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh
ke utara,
ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang
akan tiba,
karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan
wajahku,
kulupakan wajahmu.

1971


DI DEPAN SANCHO PANZA

Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.

Tentu saja Sancho tak mengerti
bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”

Memang sebenarnya perempuan itu cemas:
Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.

“Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.
Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabar
seperti gerimis.

2009 


TENTANG CHOPIN

Kembali ke nokturno, katamu. Aku inginkan Chopin.
Seperempat jam kemudian, tuts hitam pada piano itu menganga.
Malam telah melukai mereka.

Mungkin itu sebabnya kau selalu merasa bersalah, seakan-akan sedih adalah bagian dari ketidaktahuan.
Atau kecengengan. Tapi setiap malam, ada jalan batu dan lampu sebuah kota yang tak diingat lagi, dan kau,
yang mencoba mengenangnya dari cinta yang pendek, yang terburu, akan gagal. Di mana kota ini? Siapa yang

meletakkan tubuh itu di sisi tubuhmu?
Semua yang kembali
hanya menemuimu
pada mimpi yang tersisa
di ruas kamar….

Coba dengar, katamu lagi,
apa yang datang dalam No. 20 ini?

Di piano itu seseorang memandang ke luar
dan mencoba menjawab:
Mungkin hujan. Hanya hujan.

Tapi tak ada hujan dalam C-Sharp Minor, katamu.

2012

Demikianlah sajak-sajak cinta Goenawan Mohamad. Sajak yang perlu pemahaman lebih untuk menangkap setiap makna yang dimaksudkan penulis. Namun, dalam puisi, makna memiliki keragaman dan kekayaannya tersendiri.

Jadi kadang kala, setiap pembaca atau penulis menikmati sajak-sajak itu dengan pandangannya sendiri. Dengan pengalaman batin yang dialami atau pengetahuan yang dimiliki.

Semoga menginspirasi sobat muda.
Salam hangat.

Sumber:
·         Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.
·         https://id.wikipedia.org/wiki/Goenawan_Mohamad#Karya_sastra




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

9 komentar

komentar
29 Mei 2016 pukul 12.22 delete

cakep gan sangat puitis :3

Reply
avatar
29 Mei 2016 pukul 12.23 delete

wah mantap gan sajak sajak beliau :) thanks udh di share

Reply
avatar
29 Mei 2016 pukul 12.28 delete

mantap mantap gan sajak beliau :) thanks udh di share ya

Reply
avatar
29 Mei 2016 pukul 12.30 delete

Gilaaaa, sajaknya bikin meleleh... kayaknya mantab deh karyanya.

Reply
avatar
29 Mei 2016 pukul 13.26 delete

terima kasih, semoga menginspirasi :)

Reply
avatar
4 Juni 2016 pukul 12.32 delete

Kata demi katanya sangat puitis dan dalam sekali,
Gaya bahasanya juga khas, seperti yang agan sebutkan di artikel.

Reply
avatar
4 Juni 2016 pukul 20.34 delete

Begitulah, Beliau banyak menginspirasi para penulis muda untuk lebih mengenal puisi dan lebih memiliki ciri khas untuk gaya penulisan. terima kasih

Reply
avatar

silakan berkomentar dengan santun, inspiratif dan tidak mengandung SARA...mari saling menginspirasi