PUISI KITA KINI

PUISI KITA KINI (1998)
Oleh: Sapardi Djoko Damono


Dalam sebuah karangan, saya pernah menyinggung pernyataan beberapa pegamat sastra Indonesia tentang hubungan antara puisi Indonesia dan perkembangan masyarakat, khususnya yang menyangkut pergeseran politik. Di suatu pihak, H.B. Jassin dalam sebuah esai yang ditulisnya tahun 1966 mengaitkan munculnya Angkatan ’66 dengan peralihan kekuasaam dari Orde Lama ke Orde Baru, dan mendasarkan pembicaraannya terutama pada puisi, khususnya puisi perlawanan atau perjuangan. Di pihak lain, beberapa tahun kemudian—tentu dalam situasi politik yang jauh lebih tenang—Goenawan Mohamad dan Ajib Rosidi membuat pernyataan yang mengungkapkan terciptanya suasana kreatif sesudah tahun 1966. Goenawan mencatat munculnya kembali tradisi penulisan lirik, sedangkan Ajib menyodorkan bukti-bukti munculnya kecenderungan berekspresimen dalam puisi kita.
Sapardi Djoko Damono
Perlu dicatat bahwa sekitar pertengahan tahun 1970-an, kita kembali menyaksikan munculnya puisi protes sosial, terutama dalam karya Rendra yang kemudian diikuti oleh beberapa penyair yang lebih muda.

Perubahan banyak terjadi, seperti perubahan sosial. Ragam sastra protes, bisa juga dipandang sebagai lahirnya keleluasaan (suasana baru) bagi munculnya kreatifitas. Betapa jauh jarak yang terbentang antara gaya dan tema sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri yang dikumpulkan dalam O (pertama kali terbit 1973) dan sajak Linus Suryadi AG yang berjudul Pengakuan Pariyem (1980).  Sutardji, penutur asli bahasa Melayu Riau itu menciptakan sajak-sajak yang mempertaruhkan tipografi dan bunyi  agar kata-katanya bisa “bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea”. Sementara itu Linus menyusun sajak panjang yang justru dimaksudkaan untuk menyalurkan pengertian dan gagasan sebaik-baiknya, jika perlu bahkan mempergunakan sejumlah kata dari bahasa Jawa.


Keberagaman ini harus diartikan positif, meskipun harus juga diakui bahwa ia merupakan perwujudan adanya perbenturan pandangan di antara peraturan pandangan di antara penyair itu sendiri mengenai fungsi dan kedudukan puisi serta peran penyair dalam masyarakat.

Tidak semua sajak stensilan itu terhapus begitu saj sesudah masa demonstrasi usai. Beberapa di antaranya kemudian dimuat di koran-koran sehingga penyebarannya lebih luas, meskipun sesuai dengan sifat koran harian—masa berlakunya terbatas sehari saja.

Sistem penerbitan dan penyebarluasan yang berliku-liku semacam itu pada dasarnya mencerminkan sistem yang berlaku bagi umumnya puisi kita. Buku kumpulan sajak tidak pernah menjadi incaran penerbit; jika penyair merasa bangga melihat bukunya terbit, penerbit yang terlibat di dalamnya pun pada dasarnya cukup bersikap serupa, antara lain adalah karena untuk perkembangan sastra Indonesia.
sastra indonesia
Satu-satunya penyair Indonesia yang buku-bukunya mengalami cetak ulang dalam waktu yang relatif singkat adalah Rendra meskipun masih sangat jauh dibandingkan dengan misalnya novel Marga T., Ieke Soepomo, dan Mira W. yang beberapa novelnya diceetak ulang beberaa kali dalam waktu beberapa tahun saja. Padahal, perlu dicatat, sebagai seniman tokoh masyarakat Rendra memiliki popularitas yang jelas tidak tertandingi siapa pun.

Kaitan antara popularitas penyair dan kelarisan buku tidak selalu sama seperti yang terjadi pada Rendra. Buku sajak Linus Suryadi AG, pengakuan Pariyem, tergolong pengecualian karena mengalami cetak ulang dalam jangka waktu yang relatif singkat. Sutardji Calzoum Bachri dengan kumpulan sajak O Amuk Kapak, yang penerbitnya sama dengan buku sajak Linus (Sinar Harapan), tampaknya tidak banyak menarik minat pembeli.

Linus Suryadi AG
Keadaan penerbitan buku puisi sedemikian itu tentu saja tidak bisa meningkatkan minat penerbit swasta pada umumnya, kecuali Pustaka Jaya, tetapi ternyata juga tidak pernah menghambat usaha berbagai pihak untuk memberikan sumbangan terhadap “proyek rugi” itu. Sebagian besar buku puisi yang diterbitkan di Indonesia tampaknya tidak bisa ditemukan di toko-toko buku; buku-buku itu dicetak atau distensil dalam jumlah terbatas dan beredar di kalangan yang sangat khusus. Selama hampir dua dekade ini, saya telah menerima kiriman dan mendapatkan perpuluh-puluh buku puisi semacam itu, yang diterbitkan di berbagai pelosok Indonesia.

Minat masyarakat terhadap penulisan puisi, terutama di kalangan remaja, tercermin antara lain dalam sayembara penulisan puisi yang diadakan majalah Gadis 1988 ini; pesertanya mencapai hampir seribu lima ratus orang, padahal usianya dibatasi sampai 21 tahun. Mudah dibayangkan bahwa sebenarnya kita memiliki beribu-ribu penyair, tetapi ternyata kita tidak mempunyai cukup banyak orang yang suka membeli karyanya.

Tampaknya di Indonesia puisi erat berkaitan dengan kaum muda; para penyair yang bersemangat mengirimkan sajak-sajak ke berbagai media massa tentunya masih muda, demikian juga khalayak yang gemar mendengarkan pembacaan puisi maupun yang berkerumun mendaftarkan diri sebagai peserta lomba baca puisi. Tidak ada jaminan bahwa mereka itu nantinya terus menaruh perhatian pada puisi; para penyair itu sekali dua kali bangga melihat sajaknya diterbitkan majalah atau koran, kemudian menerbitkannya dalam bentuk stensil atau cetakan yang banyak salah cetaknya—sesudah itu hidup wajar sebagai pegawai kantor, wartawan, guru, atau pengusaha. Konon, S.M. Ardan pernah menyatakan bahwa dia, pada tahun 50-an, meninggalkan puisi sebab merasa tidak muda lagi.

Bukannya tanpa alasan jika kemudian ada ejekan ars brevis vita longa bagi sebagian mereka; seharusnya kesenian panjang usianya, sedangkan hidup itu ringkas. Tetapi tentu tidak ada salahnya meninggalkan kesenian kapan saja pada usia berapapun; nyatanya penyair seperti Rusman Efendi dan Sanusi Pane telah meniggalkan bermutu meskipun meninggalkan kepenyairannya sewaktu masih belum tua. Pada hemat saya, dalam kesenian moderrn tidak ada kaitan antara kegerhasilan dan bakat alam; yang ada hanya jenius atau belajar keras kapan saja. Dalam kepenyairan, profesionalisme bisa dimulai pada usia berapu pun. Sajak-sajak Amir Hamza dan Chairil Anwar tetap berharga hingga kini sebab mereka profesionalisme, meskipun mereka kedua-duanya meninggal pada usia relatif muda.

Tidak benar bahwa puisi hanya menjadi bagian kehidupan masa remaja. Dalam sastra dunia kita mengenal Arhur Rimbaud, penyair Perancis, yang meninggalkan kepenyairannya pada usia belasan tahun sambil mewariskan sejumlah sajak yang tidak terhapuskan dari peta puisi negeri itu. Walt Whitman, penyair Amerika, yang muka-berkerutnya dan janggut-putihnya merupakan lambang kepenyairan negerinya. Sementara di negeri kita, beberapa penyair, seperti Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, Tuti Herarti, Sutardji, Isma Sawitri, dan beberapa nama lainnya bisa bertahan hingga usianya yang tidak lagi muda. Dan beberapa lainnya menulis sajak di samping kesibukannya sebagai guru, jurnalis, dan pegawai kantor.

Ajib Rosidi
Untuk memberi sekadar gambaran mengenai begitu beragamnya kecenderungan tematik dan stilistika dalam perkembangan puisi kita sealama dan dasawarsa akhir ini, saya kutip beberapa sajak atau beberapa penggalan sajak.

Sajak Linus AG, pengakuan pariyem, yang terdiri atas sekitar 6000 larik, yang jelas tidak hemat bunyi dan kata. Saya kutip beberapa sajaknya saja:

Ya, ya. Pariem saya
Maria Magdalena pariyem lengkapnya
“iyem” panggilan sehari-hari
dari Wonosari Gunung Kidul
sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalam Suryamentaraman Ngyogyakarta
saya mau mengalir saja
saya krasan ada di dalamnya
tiap yang hidup punya irama
ialah irama dalam hidupnya
tiap orang punya cuaca
ialah cuaca dalam hatinya
Apabila irama hidup kacau
Kacau jugalah batinnya
Apabila cauaca batin gelap
Tapi biala cuaca batin cerah
Bergairah jugalah hidupnya
Ah, ya, saya mau mengalir saja
Saya krasan tinggal di dalamnya
Jagad tergelar di depan mata
Rahasia tersimpan di baliknya

Puisi Linus guna merekam gejala sosial, meskipun sajak ini diberi subjudul Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Sajak yang penuh permainan konsep.

Sajak Rendra yang berjudul “S.L.A” menunjukkan adanya kecenderungan berbeda. Sajak yang merupakan tanggapan terhadap keadaan dunia pendidikan kita itu dibuka dengan bait:

WS. Rendra
Murid-murid mengobel kelentit ibu gurunya.
Bagaimana itu mungkin?
Itu mungkin,
Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
Semua boleh. Semua tidak boleh.
Tergantung pada cuaca.
Tergantung pada amarah dan girangnya
sang raja.
Tergantung pada kuku-ku garuda dalam
mengatur kata-kata.

Tampaknya Rendra memang berniat meninju kita sekeras-kerasnya, meledakkan granat di telinga kita, agar kita segera menyadarinya keadaan sebenarnya yang terjadi di sekeliling kita ini. Sementara itu Goenawan Mohamad memilih cara yang sama sekali lain dalam menyampaikan tanggapannya terhadap suatu peristiwa, yang barangkali “kecil” saja, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksaan demokrasi di negeri ini. Berikut adalah sebuah bait dari “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”, ditulis tahun 1971.

Goenawan Mohamad
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang
luka yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk dan
beranda meninggalkan bisik. Orang ini tak berkartu. Ia tak
bernama. Ia tak berpartai.  Ia tak bertanda gambar. Ia tak
ada yang menangisi, karena kita tak bisa mengangisi. Apa
gerangan agamanya?

Dalam sajak ini Goenawan berbisik saja, mengajak kita mempertimbangkan masalah itu dengan diri kita masing-masing tanpa teriakan dan tudingan.

Sajak Remy Sylado, salah seorang pencetus “gerakan” Puisi Mbeling, berikut ini mungkin ditulis berdasarkan anggapan yang berbeda tentang puisi. Sajak-sajaknya tidak hanya memaksa kita menertawakan kekonyolan diri sendiri, tetapi juga mengejek puisi itu  sendiri, mungkin sambil melancarkan protes sosial sekaligus, seperti yang tampak dalam sajaknya berikut ini:

Remy Sylado

DUA JEMBATAN: MIRABEAU DAN ASEMKA

Mengapa orang mau dengar Appolinaire
Yang berkisah tentang kebohongan dunia
—Sous le pont Mirabeau coule la Seine
—Et nos amours
—?

Mengapa tak mau dengar Remifasolasido
Yang berkisah tentang kejujuran dunia
—Neng ngisore kreteg Asemka itu
—Akeh umbele Cino
—?

Pembaca yang sedikit-sedikit menguasai bahasa dan sastra Perancis dan Jawa pasti bisa menangkap kelakar sekaligus sindiran Remy Sylado itu. Sikap yang “longgar” terhadap puisi itu ternyata kemudian memberi jalan munculnya berbagai jenis puisi lagi.

Contoh-contoh tidak akan ada habisnya. Dan keberagaman itu menunjukkan bahwa puisi kita dalam keadaan sehat. Masing-masing jenis itu diciptakan untuk maksud tertentu dan senantiasa bisa menemukan khalayaknya sendiri. Puisi mula-mula mungkin memulai hidup dan perjalannnya dari buku stensilan di atas kertas koran, lau berkumandang di mimbar-mimbar, lalu masuk bunga rampai, kemudian dihafal anak sekolah. Sebagian besar di antaranya lenyap begitu saja, tetapi—moga-moga saja—satu dua sajak akan dibaca ulang dan dikenang, turun-temurun, mengajak pembacanya bercanda atau merenung atau menyadari siapa sesungguhnya dirinya.


Disarikan dari buku Sapardi Djoko Damono, yaitu SIHIR RENDRA: PERMAINAN MAKNA dan diberi ilustrasi/gambar agar menarik untuk dibaca dan dipahami maknannya.
  








Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

silakan berkomentar dengan santun, inspiratif dan tidak mengandung SARA...mari saling menginspirasi